Aku masih ingat senyum, gaya bicara, bahkan ekspresi wajah kesalnya saat aku dengan sengaja menyembunyikan kunci motornya. Aku masih ingat bagaimana dengan setia dia menungguku menyelesaikan setiap tugas-tugasdari guru komputerku. Semua terasa begitu nyata, meskipun sudah hampir lima tahun, dia sama sekali tidak menyapaku. Hanya sesekali dia hadir dalam tidur malamku untuk mengobati rasa rinduku.
Pernah suatu malam, saat semua orang di rumahku terlelap, dia hadir untuk yang kesekian kalinya dengan senyum yang begitu indah.Aku pikir itu adalah saat yang tepat untuk menanyakan sesuatu padanya. Namun dia tidak menjawabku. Dia hanya kembali tersenyum kemudian pergi meninggalkanku.
“Ini, untukmu,” suara itu tiba-tiba saja menarikku kembali pada duniaku yang sesungguhnya. Dunia dimana aku harus tetap melangkah ke masa depan. Aku menoleh ke arah seorang laki-laki yang telah menjadi sahabat baikku sejak aku masih di Taman Kanak-Kanak. Agus, aku biasa menyapanya. Dia menyodorkan sebuah gulungan kertas ke arahku. Aku tidak langsung mengambil kertas itu. Aku hanya memandanginya sejenak, kemudian mengalihkan pandangan ke sisi lain dari tempat ini.
“Sampai kapan?,” tanyanya lagi. Aku hanya terdiam. Lebih tepatnya aku tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaannya itu. “Jika terus seperti ini, kau tidak hanya memgecewakanku, tapi juga semua orang yang mendukungmu. Keluarga, sahabat-sahabat bahkan guru-gurumu,”lanjutnya, membuat aku semakin terpuruk. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mengambil gulungan kertas di tangan Agus, menulis biodataku sesuai format yang telah tersedia, kemudian memainkan jari-jemariku di atas keyboard notebook? Mampukah aku menuangkan apa yang ada di pikiranku mengenai dia yang sangat aku sayangi?
“Rieta, dia sangat menyanyangimu. Apa kau yakin, keputusanmu adalah satu bukti bahwa kau juga menyanyanginya?”
Deg! Entah karena apa, pertanyaan Agus yang sangat lembut itumembuat aku seperti kehilangan kemampuan untuk bernafas. Benarkah keputusan yang aku ambil? Benarkah aku dapat membuat banyak orang bahagia jika aku ma menerima tawaran Agus? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam diriku. Kembali terlintas dalam benakku, sosok seorang kakak yang sangat aku sayangi.
Dulu, dia pernah mengatakan padaku bahwa dia ingin menjadi seorang guru. Dia ingin segera menyelesaikan pendidikannya kemudian mengajarku di sekolah. Dia ingin suatu saat dapat terus mengawasi dan menjagaku di masa remajaku. Betapa bahagianya aku saat itu. Maka, dengan yakin pula aku mengatakan padanya bahwa aku akan menjadi guru seperti dirinya. Suatu saat, aku dan dia akan mengajar bersama, membagikan ilmu yang kami miliki kepada orang lain. Pasti keluarga kami akan sangat bahagia melihat kami bisa melayani orang lain dengan penuh sukacita. Namun sayang, semua mimpi-mimpi indah itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Dia, kakak sepupu yang aku cintai pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Kecelakaan maut 5 tahun yang lalu, telah merenggut segalanya. Cinta darinya, juga mimpi-mimpi kami. Dan kini aku sedang bergumul dengan kenyataan yang ada di hadapanku. Agus datang, membawakanku selembar formulir pendaftaran lomba menulis di salah satu Universitas ternama di kota ini. Jika aku memenangkan lomba itu, aku memiliki satu tiket untuk belajar disana sebagai calon guru, sama seperti apa yang aku dan kakakku cita-citakan. Hanya saja, permasalahannya adalah temalomba itu secara tidak langsung memaksaku untuk mengungkapkan alasan-alasan mengapa aku memutuskan untuk menjadi seorang guru. Haruskan aku memaparkan semua, juga tentang kakak? Tidakkah itu terkesan, aku memanfaatkan keadaan untuk meraih cita-citaku?
“Ta, tidak waktu lagi. Keputusanmu?,” Agus kembali melontarkan pertanyaan padaku, berusaha mencari kepastian. Aku diam, menghela nafas dalam-dalam.
“Sepertinya aku tidak bisa,”jawabku pelan. Agus tampak begitu kecewa. “Sepertinya aku tidak bisa membuat orang-orang yang menyayangiku,”kataku lagi seraya melukiskan senyum di wajahku. Agus tersetak. Mungkin saat ini dia tengah berbahagia atau bahkan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.
“Jadi...?,”
“Jadi, jangan membuang waktu lagi,”sahutku seraya menyambar gulungan kertas yang masih digengamnya. Aku harus menatap apa yang ada di depanku. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik. Semua ini untukmu, kakakku dan juga untuk semua orang yang menyanyangiku.
0 komentar:
Posting Komentar