Logo Kampung Tercinta

Minggu, 26 Juni 2011

Pelangi Hidupku

Diposting oleh Dhanistyo di 07.11 0 komentar

oleh Eka Mega Cynthia

"Wahai Allah, putuskanlah! Dan aku akan pasrah sesudah beusaha." Ujarku berbisik sebelum kutarik selimut sembari melihat ke catatan dinding mengenai semua target mimpi yang harus kuwujudkan. Kubagi antara target dunia dan akhirat, biar seimbang diantara keduanya.

“Thia, beneran tuh semua catatan kamu tentang semua keinginanmu? Kenapa emangnya kok pakai ditulis seperti itu?” Tanya seorang teman yang berencana untuk menginap mengerjakan tugas bersama dikosku dan berkomentar setelah melihat banyaknya tempelan didindingku.

Aku mengangguk mantap sembari tertawa. “Mimpiku. Aku hanya ingin mendekatkan semua mimpiku dengan kenyataan. Jadi ya seperti yang kamu lihat sekarang ini. Sebab dengan begitu aku akan ingat berapa target yang belum kuselesaikan.”

“Wah, lumayan juga nih buat ditiru.”

Kembali kukembangkan senyumku bersamaan dengan menguatnya azzamku yang kokoh tertancap dihati sembari aku rapal do’a ini berulang kali seakan setiap rapalan yang kugumamkan merupakan penyemangat bagi nafas hidupku: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbii ‘alaa diini.” hatiku terasa damai. Wahai yang Maha membolak-balikkan hati tetapkanlah hatiku atas agamaMu?

Dan aku harus bisa lebih memahami hidup ini, lebih memahami apa maunya Allah, lebih memahami tentang aku sendiri, dan lebih memahami tentang orang lain. Kurasa tak ada ego, karena memang aku belajar untuk menyesuaikan porsinya dengan tepat. Lihat saja di semua target telah lulus ku tulis pada lembaran-lembaran kertas yang ku tempel, tinggal menempuh cara untuk merealisasikannya melalui caraNYA. Meskipun tak jarang pula aku tidak lulus.

Pada suatu waktu ketika hatiku porak poranda karena suatu hal dengan hati berwarna biru kelam. Aku memilih untuk menyusuri jalan dari gedung Rektorat menuju perpustakaan pusat. Masih sendiri mungkin lebih tepatnya menikmati alam dengan kesendirian. Rerimbunan pohon yang besar menaungi setiap langkahku. Daun-daun kering berwarna kecoklatan berserakan. Aku menghentikan langkah sembari memilih bangku kosong, menarik nafas dengan tenang dan memejamkan mata.

Aku ambil buku catatan mimpi dan semua tentang kehidupanku serta menuliskannya dengan jiwaku yang sedang sendu.

T U H A N J A N G A N P E R N A H T I N G G A L K A N A K U D A L A M K E S E N D I R I AN K A R E N A A K U T A K K A N P E R N AH S A N G G U P M E M P U N Y A I K E H I D U P A N S E P E R T I I T U, T E T A P L I N G K U P I A K U D E N G A N K A S I H M U Y A N G S E L A L U K U R I N D U K A N, A K U M O H O N D E N G A N S A N G A T T O L O N G B A N T U A K U

Sebuah motor melesat, lajunya membelah dan menerbangkan daun-daun kering. Beberapa menit berlalu sebuah pesan berkedip manja di layar handphoneku.

“Ga, aku terlalu capek dengan semua ini. Aku lelah selalu menjadi orang yang diandalkan. Bolehkah aku beristirahat?”

“Lalu gimana dengan tugas kelompok kita? Bella sakit di rumah dan Ervan dirawat inap di UGD. Tinggal aku dan kamu.”

“Aku akan lepas tangan dari semua tugas ini.”

Kembali ku pejamkan mataku, kuremas daun-daun yang berada didekatku sampai remuk tak berbentuk. “Tuhan kuatkan aku.” Pintaku pelan. “Jangan sampai amarah menguasaiku.”

Beberapa hari setelah tugas yang membuatku kalang kabut bersama rasa tanggung jawabku dan aku berhadapan denganmu hatiku kembali diguncang badai. kutulis kembali dalam buku diariku agar semua yang kurasakan tidak menyembur keluar dari lisan hingga menyakiti banyak orang.

Kata ayahku, "Harus memberi sebuah kebaikan bagi kehidupan. Jangan sampai ada yang tersakiti karena tingkah kita"

Kusebut semua mimpi dan kehidupanku sebagai target mimpi pelangi. Sebab dalam mewujudkan mimpi tersebut bukanlah sekali dua kali aku selalu mendapat hadiah warna yang berbeda. Kau tahu warna pelangi? Satu sama lain berbeda tapi hal itulah yang membuat simponi warnanya menjadi berpadu harmonis begitupula bila kita memaknainya dengan kehidupan, hidup itu penuh warna. Jika didunia hanya terdiri dari satu warna saja, aku yakin kalau dunia ini akan terasa monoton. Orang-orang akan bosan menjalaninya dan tak akan punya hasrat untuk melangkahkan kehidupannya menjadi ke cahaya yang lebih terang.

Entah mengapa saat kehidupan melukis warnanya aku tahu satu hal yang pasti dan sederhana: hatiku juga ikut melukis warnanya. Tapi aku juga tahu,dalam kehidupan yang kita harapkan terkadang jauh dari kenyataan. Hidup memang penuh misteri dan kejutan. Tapi bagaimana kita menghadapi kejutan hidup dengan segala keikhlasan dan kesabaran, itulah KEDEWASAAN.”

Inti dari semuanya seimbangkan semua target, selaraskan hidupmu dan harmonisasikan warnamu, maka kau akan mendapati sebuah pelangi hidup dalam titahNYA yang terukir indah. Walaupun mungkin segala sesuatu tidak berjalan sesuai kehendak kita, tapi aku tetap percaya bahwa apapun yang Tuhan berikan, itulah yang terbaik. Jika segala sesuatu tidak berjalan baik, percayalah. Semua itu hanya masalah WAKTU. Tuhan pasti akan menjadikan segalanya indah pada waktunya nanti. All we can do just the best. And let God do the rest.


Aku Berbeda dan Aku Menyukainya

Diposting oleh Dhanistyo di 07.08 0 komentar

Oleh Nimas Sekarlangit

Aku bersyukur untuk hari ini, kemarin, esok, dan seterusnya. Ketika aku masih diberi sebuah nafas untuk berbagi dengan orang lain. Berbagi apapun yang aku suka, mestinya dalam lingkup sesuatu hal yang saling memberi manfaat pada orang lain. Karena manusia diciptakan berbeda, diciptakan unik, diciptakan bervariasi. Karena perbedaan itulah yang membuat segalanya menjadi indah. Perbedaan itulah yang mempertemukan setiap manusia untuk menyatu dan menciptakan sebuah nuansa yang dirasa elok.

Awalnya aku sering mengeluh tentang diriku. Bahkan menyumpahi sesuatu yang tak penting. Untuk apa aku disini. Sampai lelah aku menelusuri ada apa diriku? Aku tidak ingin hanya menjadi tak berguna dalam jiwa yang terperangkap pada sebuah jasad. Aku harus bisa, aku pasti bisa. Aku mulai mengamati, merenungi, mendalami diriku sendiri. Berharap menemukan mutiara yang lama terpendam tanpa pernah aku temukan keberadaannya lalu akan aku bina menjadi perhiasan yang indah. Aku tahu Tuhan menitipkan anugerah padaku, tapi aku tak tahu apa itu. Bukankah sudah menjadi kodrat manusia untuk mencari dan terus mencari?

Jika selama ini aku sering diam, bukan berarti aku bebas dijadikan alat untuk menggapai keinginan yang mendasar pada kehendak pribadi. Aku juga mempunyai gagasan. Hanya saja gagasanku sedikit berbeda. Apalah yang selalu menjadi bahan pembicaraan, perilaku wakil rakyat yang sebenarnya tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat, persamaan hak, kesetaraan kaum wanita dan kaum pria, semua hanya omong kosong kalau tidak ada pembuktian nyata. Semua itu membuatku jenuh dan enggan. Tapi aku tidak menyerah, aku selalu berusaha menempatkan diriku senyaman mungkin karena aku masih memiliki setitik tanggungjawab yang harus diselesaikan meskipun dengan sedikit terpaksa. Ternyata itu tidak membantu, aku menyadari kalau dalam hatiku muncul sebuah pemberontakan bahwa aku harus bertindak.

Jika sebuah gagasan harus diungkapkan dalam aksi dengan mengobarkan semangat palsu yang terkesan tipuan belaka, aku lebih memilih mengungkapkan gagasan dalam goresan tinta. Setidaknya bisa melatih diriku dalam merangkai kata. Seringkali beberapa pihak tidak menerima kebiasaanku, karena dinilai tidak praktis, bahkan pengecut, hanya tercantum dalam secarik kertas. Namun sekali lagi aku berbeda, aku tidak bersusah payah berdesak-desakkan membawa bendera perdamaian diatas jalan aspal sambil meneriakkan kata-kata kebenaran yang sebenarnya penuh dengan unsur drama. Aku lebih senang berekspresi menuliskan kalimat-kalimat antara fiktif dan realita sesuai tangkapan keenam indera yang aku punya.

Karena aku tidak sama dan aku tidak mau disama-samakan. Aku ingin menjadi diriku apa adanya. Lambat laun aku telah menemukan sebutir mutiara yang hilang dari diriku. Aku mulai memahami rencana Tuhan itu selalu indah dan akan selalu menjadi misteri. Aku berbeda dan aku menikmatinya. Apapun jalan yang aku pilih itu adalah yang terbaik buat hidupku.

Lama-lama aku merasakan ketenangan. Aku pun mulai menyadari. Aku tahu Tuhan tidak selalu menjanjikan bahwa langit selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar. Tapi Tuhan selalu memberi pelangi di setiap badai, senyuman di setiap tetesan air mata, berkah di setiap cobaan, dan jawaban di setiap doa. Maka aku harus bangkit. Harus berani bertindak dan menyuarakan aspirasi yang aku punya dengan caraku sendiri. Aku jangan terus merasa terpuruk. Karena aku juga punya hak. Hak yang sama sebagai manusia merdeka. Aku adalah manusia, yang berstatus sama dengan manusia lain yang diciptakan Tuhan. Apapun yang aku miliki adalah aset utama yang Tuhan titipkan padaku. Dan aku bahagia menjadi berbeda. Berbeda secara kebiasaan, berbeda secara pemikiran, berbeda dalam cara mencapai tujuan, berbeda dalam sudut pandang, berbeda dalam menyikapi sebuah fenomena. Namun justru itu yang membuatku lepas, bebas melepaskan pemikiran ke dalam media apapun yang aku suka.

Akhirnya

Diposting oleh Dhanistyo di 07.05 0 komentar

oleh Katrin Pepita


“Ooo… mahasiswa abadi!” Seorang ibu yang pertanyaan-pertanyaannya kutanggapi dengan baik sedari menunggu antrian bank, dengan teganya meruntuhkan hati ibuku yang sudah rapuh, koyak-koyak. Pagi-pagi sekali Ibu sudah bersiap akan mengantarkanku menyetor sejumlah uang untuk semesteran. Ia memasak jauh lebih pagi. Pukul delapan tepat kami berangkat. “Gak ada yang ketinggalan, Teh?” Suaranya lemah, mungkin terselip dalam harap langkahnya, pagi itu adalah pagi terakhir ia melihat anak sulungnya membayar uang kuliah .

Kali pertama aku berjalan bersama Ibu setelah berhenti dari pekerjaan sungguh menyesakkan. Tak terbayangkan setahun kemarin mungkin Ibu harus menghadapi kata-kata yang sama, atau bahkan lebih menyakitkan.

Sekuat ia menopang diriku dalam rahimnya selama sembilan bulan, setegar ia ditinggalkan ayah menunaikan tugas saat masa kehamilan, sekokoh itu pula ia terlihat di permukaan, bertahan menghadapi Ibu Berlidah Tajam. “Iya, baru masuk lagi. Kemarin kerja setahun.” Alhamdulillah. Jauh di dalam sana kuucap syukur pada yang Maha Mendengar. Tak ada getaran dalam suara Ibu kukira. Padahal urat-urat di leherku saja sudah cukup meradang.

Teringat hari-hari yang lalu, betapa aku membuat dada ibuku susah bernafas. Sering ditariknya rongga dada hingga benar-benar mengembang dan mengempis hingga aku tak yakin apakah benar oksigen masuk ke dalam paru-paru Ibu. Tak hanya sekali, tak dapat kuhitung dengan jari, terutama saat jadwal bimbingan masuk agenda pagi. “Gak jadi bimbingannya, Teh?” Tanya Ibu setiap pakaian kerja telah siap ditata di atas tempat tidur. Jika sudah begitu, otomatis badanku bergerak lebih cepat, bukan cepat membuka dokumen-dokumen di komputer, bukan mempersiapkan bahan-bahan bimbingan, tapi bergerak lebih cepat menghilang dari hadapan Ibu.

Cukup sudah satu tahun aku sembunyi di balik jabatan karyawan perusahaan bergengsi. Aku tak mau ibuku bertemu kembali ibu-ibu macam Ibu Berlidah Tajam di bangku tunggu bank seperti pagi tadi. Semangatku sedang puncak-puncaknya. Begitu kubuka pintu, langsung kuseret kakiku ke hadapan komputer. Harus ada yang kuhasilkan hari ini !!!, pekikku dalam hati.

Kukumpulkan semua referensi beserta hasil kerja pikiranku. Ternyata banyak juga. Bertumpukan, berbentuk kertas dan soft file. Data berseliweran. Tapi tak satu benang merah pun yang nyangkut ke dalam mesin pengolah data anugerah Ilahi. Beban di kepala rasanya lebih berat dari beban kaki yang kupakai jalan ke bank tadi pagi.

Kuturunkan tempo berpikirku, kutunggu-tunggu, tapi ide tak juga muncul. Kupaksakan mengetik, dengan kilat kuhapus kembali apa yang telah kuketikkan. Semburat merah di cakrawala sana sudah surut benar. Selubung hitam kembali berkuasa. Aku pun tergoda untuk mengistirahatkan diri. Ternyata tidak semudah yang kubayangkan tadi pagi. Tuhaaaan. Apakah ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki semuanya. Hanya dengkuran jangkrik di luar sana yang jawab tanyaku. Semakin tenggelamlah aku dalam rayuan malam.

Huufft…. Sudah pagi! Misi hari pertamaku gagal dengan mantap. Semangatku hari kemarin tak sanggup menahan beratnya mata dan pegal yang menyerang. Rasanya seperti habis kemping di gunung puntang. Aku benar-benar butuh istirahat. Tapi, bayangan Ibu Berlidah Tajam sekilas menyapa rasa. Kupaksakan menggantung kelopak mata.

Sambil kusiapkan otakku, kucuci mataku dengan melihat-lihat akun teman-teman masa sekolah di akun jejaring sosial mereka. Si A sedang berusaha menyelesaikan studi di Eropa, berkeliling dari satu negara ke negara lain. Si B sedang bekerja di perusahaan asing di dalam negeri. Si C sedang bekerja di Singapura. Betapa aku sudah jauh di belakang mereka, mengantri untuk terdepak dengan tidak hormat. Kulihat pula surat-surat elektronik yang telah lama tidak kubuka karena selalu dikejar jam kerja. Batinku tertohok. Ternyata keinginan membahagiakan Ibu belum menjadi impian sejatiku selama ini. “Impian sejati adalah ketika kamu begitu menginginkan udara saat tenggelam dalam lautan biru di luar sana”

30 juli 2010. Pengapku sudah memuncak. Kutemukan udaraku. Namaku terdaftar sebagai salah satu mahasiswa yang telah melewati sidang di jurusan pendidikan bahasa inggris, Universitas Pendidikan Indonesia. Akhirnya.

Ini, Untukmu

Diposting oleh Dhanistyo di 07.02 0 komentar


Oleh Ni Putu Deanitha Rizki Awalia.

Aku masih ingat senyum, gaya bicara, bahkan ekspresi wajah kesalnya saat aku dengan sengaja menyembunyikan kunci motornya. Aku masih ingat bagaimana dengan setia dia menungguku menyelesaikan setiap tugas-tugasdari guru komputerku. Semua terasa begitu nyata, meskipun sudah hampir lima tahun, dia sama sekali tidak menyapaku. Hanya sesekali dia hadir dalam tidur malamku untuk mengobati rasa rinduku.

Pernah suatu malam, saat semua orang di rumahku terlelap, dia hadir untuk yang kesekian kalinya dengan senyum yang begitu indah.Aku pikir itu adalah saat yang tepat untuk menanyakan sesuatu padanya. Namun dia tidak menjawabku. Dia hanya kembali tersenyum kemudian pergi meninggalkanku.

“Ini, untukmu,” suara itu tiba-tiba saja menarikku kembali pada duniaku yang sesungguhnya. Dunia dimana aku harus tetap melangkah ke masa depan. Aku menoleh ke arah seorang laki-laki yang telah menjadi sahabat baikku sejak aku masih di Taman Kanak-Kanak. Agus, aku biasa menyapanya. Dia menyodorkan sebuah gulungan kertas ke arahku. Aku tidak langsung mengambil kertas itu. Aku hanya memandanginya sejenak, kemudian mengalihkan pandangan ke sisi lain dari tempat ini.

“Sampai kapan?,” tanyanya lagi. Aku hanya terdiam. Lebih tepatnya aku tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaannya itu. “Jika terus seperti ini, kau tidak hanya memgecewakanku, tapi juga semua orang yang mendukungmu. Keluarga, sahabat-sahabat bahkan guru-gurumu,”lanjutnya, membuat aku semakin terpuruk. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mengambil gulungan kertas di tangan Agus, menulis biodataku sesuai format yang telah tersedia, kemudian memainkan jari-jemariku di atas keyboard notebook? Mampukah aku menuangkan apa yang ada di pikiranku mengenai dia yang sangat aku sayangi?

“Rieta, dia sangat menyanyangimu. Apa kau yakin, keputusanmu adalah satu bukti bahwa kau juga menyanyanginya?”

Deg! Entah karena apa, pertanyaan Agus yang sangat lembut itumembuat aku seperti kehilangan kemampuan untuk bernafas. Benarkah keputusan yang aku ambil? Benarkah aku dapat membuat banyak orang bahagia jika aku ma menerima tawaran Agus? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam diriku. Kembali terlintas dalam benakku, sosok seorang kakak yang sangat aku sayangi.

Dulu, dia pernah mengatakan padaku bahwa dia ingin menjadi seorang guru. Dia ingin segera menyelesaikan pendidikannya kemudian mengajarku di sekolah. Dia ingin suatu saat dapat terus mengawasi dan menjagaku di masa remajaku. Betapa bahagianya aku saat itu. Maka, dengan yakin pula aku mengatakan padanya bahwa aku akan menjadi guru seperti dirinya. Suatu saat, aku dan dia akan mengajar bersama, membagikan ilmu yang kami miliki kepada orang lain. Pasti keluarga kami akan sangat bahagia melihat kami bisa melayani orang lain dengan penuh sukacita. Namun sayang, semua mimpi-mimpi indah itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Dia, kakak sepupu yang aku cintai pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Kecelakaan maut 5 tahun yang lalu, telah merenggut segalanya. Cinta darinya, juga mimpi-mimpi kami. Dan kini aku sedang bergumul dengan kenyataan yang ada di hadapanku. Agus datang, membawakanku selembar formulir pendaftaran lomba menulis di salah satu Universitas ternama di kota ini. Jika aku memenangkan lomba itu, aku memiliki satu tiket untuk belajar disana sebagai calon guru, sama seperti apa yang aku dan kakakku cita-citakan. Hanya saja, permasalahannya adalah temalomba itu secara tidak langsung memaksaku untuk mengungkapkan alasan-alasan mengapa aku memutuskan untuk menjadi seorang guru. Haruskan aku memaparkan semua, juga tentang kakak? Tidakkah itu terkesan, aku memanfaatkan keadaan untuk meraih cita-citaku?

“Ta, tidak waktu lagi. Keputusanmu?,” Agus kembali melontarkan pertanyaan padaku, berusaha mencari kepastian. Aku diam, menghela nafas dalam-dalam.

“Sepertinya aku tidak bisa,”jawabku pelan. Agus tampak begitu kecewa. “Sepertinya aku tidak bisa membuat orang-orang yang menyayangiku,”kataku lagi seraya melukiskan senyum di wajahku. Agus tersetak. Mungkin saat ini dia tengah berbahagia atau bahkan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.

“Jadi...?,”

“Jadi, jangan membuang waktu lagi,”sahutku seraya menyambar gulungan kertas yang masih digengamnya. Aku harus menatap apa yang ada di depanku. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik. Semua ini untukmu, kakakku dan juga untuk semua orang yang menyanyangiku.

 

WR3VO Magazine Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Emocutez