Logo Kampung Tercinta

Kamis, 12 Januari 2012

Bundaku Sayang

Diposting oleh Dhanistyo di 16.20 0 komentar
Oleh Qorri Aina
*Juara 3 Lomba FF WR 03

“Sungguh, hati ini tak sanggup berpisah denganmu lagi. Kapan pulang?”

“Istriku sayang, aku masih ada proyek yang belum selesai. Doakan minggu depan aku sudah di rumah.”

Begitulah suamiku. Jarang menemaniku di rumah. Aku sering ditinggal saat ada proyek di luar kota. Tapi, Mas Thafa tak pernah absen menyapaku lewat telepon. Di satu sisi, aku tak sanggup berpisah dengannya walau sedetik. Tapi, di lain sisi aku harus bersabar memiliki suami seorang arsitek. Perusahaan tempat Mas Thafa bekerja selalu melibatkannya dalam setiap proyek yang ada.
Mas Thafa seorang yang rajin dan ulet. Selain itu, wajahnya juga menyejukkan hati setiap wanita yang memandangnya. Sorotan matanya seakan menyusuri setiap aliran darah dalam hati. Senyumnya membuat wanita salah tingkah. Hampir tak ada cela fisiknya.

Aku sangat bersyukur mempunyai suami dan anak yang baik serta taat beribadah. Kami dikaruniai seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Mereka masih belajar di Perguruan Tinggi Negeri dekat rumah.

Tok…tok…tok…

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Kubuka pintu perlahan.

“Bun, Rani mau minta ijin ke luar kota lima hari. Ada pelatihan jurnalistik kampus.”

“Sudah bilang Ayah?”

“Beres, Bun. Kata Ayah gak apa-apa.”

Aku pun tersenyum dan mengabulkan ijinnya.

“Terima kasih, Bun.”

Rani pun pergi dengan meninggalkan kecupan di pipiku. Tapi, tak lama kemudian Teguh menghampiriku saat pintu kamar akan kututup.

“Sebentar,, Bun.”

“Ada apa lagi?”

“Sama seperti Kak Rani, Teguh mau minta ijin. Teguh juga sudah bilang Ayah kalau Senin sampai Rabu ada kegiatan di kampus.”

Aku pun mengiyakan tanpa curiga. Di rumah tinggal aku dan anak keduaku, Sarah. Rumah begitu sepi. Ternyata hari kembalinya Mas Thafa, Rani dan Teguh sama yaitu Kamis.

Tak terasa Kamis pun tiba. Aku memasak makanan kesukaan mereka. Sarah membantuku menyiapkan segala sesuatunya. Tiba-tiba ponselku bordering.

“Halo, apa benar ini nomor Ibu Fatma?”

“Ya. Ini siapa?”

“Saya perawat di Rumah Sakit Mulia Sari. Bapak Thafa mengalami kecelakaan dan sekarang masih ditangani dokter di ruang Anggrek.”

Aku pun langsung mengajak Sarah ke Rumah Sakit Mulia Sari. Aku segera mencari ruang Anggrek. Hatiku tak tenang. Seperti ada yang mengganjal jantungku.

Saat kubuka pintu ruangan, tiba-tiba…

“Surprise…”

Suara serempak suami dan anak-anakku menggema seantero kamar. Sarah pun langsung memelukku.

“Maaf, Bun. Sarah gak kabari Bunda soal ini. Ayah gak mau kalau kejutan untuk Bunda jadi gatot alias gagal total.”

Air mataku tak mampu kubendung. Rasa haru menyelimuti diriku saat ini.

“Selamat Hari Ibu ya, Bun.” Kata Mas Thafa sambil mengecup keningku.

Ksatria Penjaga Ertplanz

Diposting oleh Dhanistyo di 16.20 0 komentar
Ayna Wardhani
*Juara 1 Lomba FF WR 03

Raja Wisdem penguasa Ertplanz mempunyai putra kembar bernama Wota dan Faye. Sayangnya, mereka seringkali tidak akur. Inilah yang membuat Raja masygul hatinya.
Suatu hari, seorang prajurit melaporkan Distrik Selatan dilanda kebakaran sekaligus banjir bandang.

“Bagaimana bisa terjadi?” tanya Raja terkejut.

“Semua ini karena pertengkaran putra Baginda. Mereka beradu kekuatan di sana.” Wajah Raja
Wisdem langsung memerah. Antara marah dan malu dengan perbuatan putranya.

“Panglima, segera kirim pasukan untuk menyelamatkan Distrik Selatan!” perintahnya.
Sejak kecil, putra Raja Wisdem dikaruniai kekuatan istimewa. Wota mampu mengendalikan air dan Faye bisa mengendalikan api.

Wota dan Faye datang menghadap Raja dengan wajah tertunduk menyimpan sisa amarah. Bagaimanapun saktinya mereka, mereka sangat hormat dan patuh pada ayahnya.

“Kalian telah membuatku malu. Lihat perbuatan kalian! Apa sebenarnya yang kalian ributkan?” Wota dan Faye berebut menjelaskan duduk perkara kepada Raja. Masih tak ada yang mau mengalah.

“Diaaaam!” teriak Raja geram.

“Sudah cukup! Kalian berdua harus dihukum.” Walaupun putranya sendiri yang berbuat salah, Raja tetap memberi hukuman.

“Kalian harus mendapatkan batu kedamaian pualam surgawi. Kalian juga harus melakukan seratus kebaikan. Setelah itu, kalian baru boleh kembali ke istana.”

Wota dan Faye mau tak mau melaksanakan hukuman itu. Berbulan-bulan mereka mencari dan mengumpulkan cerita tentang batu pualam surgawi. Selama itu pula, mereka juga menolong rakyat Ertplanz yang membutuhkan kekuatan mereka.

Menurut legenda, batu itu tersimpan di dasar terendah Ertplanz. Faye memutuskan mencari ke kawah Gunung Api Ert. Sedangkan Wota akan menuju ke palung Samudra Ert. Ketika mereka sampai di tempat yang dituju, mereka mendapati sebuah gua. Ternyata mereka bertemu lagi tepat di depan pintu gua.

Faye sudah bersiap menyerang Wota. Wota pun demikian. Namun, sesaat sebelum mereka beradu kekuatan, ada suara keras dari dalam gua.

“Tunggu!”.

Wota dan Faye terkejut melihat seorang lelaki keluar dari dalam gua. Tubuhnya separuh berwarna merah dan separuh lagi berwarna biru. Dengan sorot mata yang tajam ia menatap Wota dan Faye bergantian.

“Apakah kalian tahu apa yang akan terjadi jika kalian beradu kekuatan di sini?” bentak lelaki itu.

“Siapa kau?” seru Faye.

“Aku Ksatria Penjaga Ertplanz. Akulah yang memberi kalian kekuatan.” Wota dan Faye terkejut.

“Itu hadiah dariku untuk Ayah kalian saat kalian dilahirkan. Ternyata aku telah salah memberikannya. Lihat yang kalian lakukan. Beradu kekuatan di sini akan membuat Samudra Ert meluap dan Gunung Api Ert meletus lalu hancurlah Ertplanz.”

“Apa?” sontak Wota dan Faye menarik kedua tangannya.

“Pulanglah!”

“Tunggu, ada yang harus kami dapatkan sebelum kami kembali. Batu pualam surgawi.”

“Batu itu tidak ada di sini.”

“Lalu dimana? Beritahu kami.”

“Pualam surgawi ada dalam jiwa yang suci.” Lelaki misterius itu berlalu dan pintu gua kembali tertutup.

Wota dan Faye kini mengerti, pualam surgawi adalah wujud dari hati yang bersih. Hati yang memancarkan cahaya seperti pualam dan selalu berbuat kebaikan laksana kehidupan di surga. Mereka menyesal selama ini menyombongkan kekuatan yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Mereka bisa pulang dengan tersenyum lega. Mereka akan membawakan pualam surgawi terindah untuk ayahnya, hati mereka sendiri.

Raja Wisdem senang putranya telah sadar. Ia lalu memaafkan dan menerima mereka kembali. Raja juga mengangkat keduanya menjadi penerus Ksatria Penjaga Ertplanz.

THR

Diposting oleh Dhanistyo di 16.02 0 komentar
Oleh Wangi Kesturi
*Juara 2 Lomba FF WR 3

Kue apem beraroma harum manis menghias meja, menggugah selera. Sudah menjadi tradisi di tempat kami, satu hari menjelang Ramadhan membuat panganan kecil itu sebagai tanda gembira menyambut datangnya bulan Agung.

Kali ini kue apem tidaklah begitu penting. Ada hal lain yang membuat aku lebih tergugah menyambut Ramadhan. Sebuah kesepakatan kubuat dengan Ibu dan Bapak. Besuk hari pertama shaum, jika aku bisa sampai bedug maghrib maka THR akan kudapatkan. Sebenarnya tidaklah layak jika di bilang Tabungan Hari Raya, karena hanya uang jajan bonus lulus puasa. Tapi biarlah, agar aku semangat menjalankan, mungkin begitu maksud orang tuaku. Lumayan, bisa untuk beli sepatu kaca warna merah lebaran nanti.

Hari pertama aman terkendali, karena seharian aku tidur agar tidak terasa lapar dan haus. Maklum ketika itu masih banyak teman-teman seusiaku yang berpuasa penuh, walau pun telah kelas tiga SD. Meski pun ada bisa di hitung dengan jari.

Menginjak hari ke dua, aku sedikit sombong karena kemarinnya terasa mampu. Maainlah aku, lari-larian tak menghiraukan larangan Ibu. Alhasil jam tiga sore aku pun terkapar tak berdaya. Dan ... gagal deh dapat THR gara-gara nasi sisa makan sahur semalam yang akan di kasihkan ayam. Hihi, salah siapa coba? Sampai makan nasi jatah ayam.

Dua puluh hari telah berlalu, lumayan THR sudah terkumpul tujuh belas karena sudah bolong tiga. Seperti tahun-tahun sebelumnya jika telah datang sepuluh hari terakhir. Di tempat kami biasa ada tradisi hantaran atau ater-ater bahasa jawanya. Yang muda memberikan hantaran rantang berisi nasi beserta lauk pauk dan panggang ayam kepada yang lebih tua.

Iclik-iclik, “Mbah, di suruh Ibu nyaosi dahar. ” Bertiga dengan kakak aku masuk rumah Simbah sambil membawa rantang serta tas isi panggang ayam.

Kali ini simbah banyak tamu, ada empat orang yang datang ngantar rantang nasi sama sepertiku. Tidak tahu siapa, mungkin sahabat beliau.

“Iya, Nduk. Tunggu dulu masih ada tamu. Sana main dulu!” perintah Simbah sambil ke ruang depan menemui tamunya.

Satu jam sudah kami main sambil menunggu isi rantang di pindahkan serta potongan ayam panggang untuk kami. Iya, biasanya Simbah membelah ayamnya jadi dua dan mengembalikan yang separo untuk kami berbuka.

Sesuai pesan Ibu, sebelum jam lima sore harus sudah pulang. Kami pun bergegas mohon pamit, agar cepat sampai rumah sebelum adzan maghrib berkumandang.

“Mbah, pamit.” Sambil mondar-mandir di dekat tamu kami pamit.

“Iya, ati-ati mbonceng adiknya!” pesan simbah.

Wah ... masih ada yang kurang nih dari simbah, berkali-kali kami bertiga saling berpandangan, saling mengerti isyarat masing-masing. Simbah gimana ya? Kok lupa sih.

Sambil mondar-mandir kami pamit lagi sampai tiga kali, dengan harapan simbah akan segera ingat dengan kebiasaannya.

“Cepat pulang, nanti Ibumu bingung!” teriak Simbah dari dalam rumah.

“Mbah, Adik nesu. ” jelas kakakku pada Simbah

“Ya Allah ... iya, Simbah lupa belum kasih sangu. Sini, Le, Nduk!” segera kami masuk kembali memenuhi panggilan dan mengambil jatah THR dari Simbah.

“Yess ... Yess. Berhasil.” Sambil senyum-senyum kami pun langsung pulang.

Selalu indah bersama Ramadhan dan Idul Fitri, sebuah kesan yang tak mungkin terlupa. Sekecil apa pun bentuk support yang kita terima akan membawa hikmah di kemudian hari.
 

WR3VO Magazine Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Emocutez