Logo Kampung Tercinta

Rabu, 13 April 2011

Mamahku Ingin Seperti Rabi’ah

Diposting oleh Dhanistyo di 22.42
Oleh Zaimil Alivin

Lantunan lembut adzan di ujung minaret sana mulai merekah, mendarat membesit qalbu, berhembus melintas di pendengaran, menguncupkan kedamaian, mempersembahkan tawaran keagungan cinta Sang Khaliq pada makhluk-Nya. Irama merdu itu seakan meniup lembut pelataran hati setiap hamba-Nya. Sementara sang fajar masih tersipu malu, bersembunyi dalam pelukan sang dini, masih berdiam diri menanti giliran menemani bulatan bumi. Suasana kala itu bening, hening, sunyi, dan senyap. Hingga tak beberapa lama kemudian, ayam jantan mulai berani melantunkan koor keperkasaannya. Burung- burung berdendang sembari saling bercumbu antara satu dan yang lain. Semua makhluk tengah bersiap menyambut hari baru. Sementara aku, masih terlelap lemah dalam kepulasan sambil membuang nafas- nafas sisa. Deretan suasana itu seakan menantangku untuk melenyapkan segalanya. Namun tetap saja aku tak berkutik. Bahkan aku masih menarik selimut lebar yang sempat keledoran. Aku telah hanyut dalam pelukan kenikmatan. Entahlah, mungkin di sampingku para syetan sedang terkekeh geli bahagia melihat jisimku terkapar lemah. Atau bahkan syetanlah yang meniupkan sepoian udara yang mampu menggelitik ujung kepala hingga ujung kakiku. Apakah mereka merasa puas atau tidak, aku tak menghiraukan, aku sudah terbius akan kenikmatan godaan mereka. Kala akan ku balikkan tubuhku, suara serak berlafal khas kejowoan mengiang di telinga. Suaranya tak asing lagi di pendengaranku. Aku sangat mengenali suara lembut, halus, dan pelan itu sejak dulu.

“Al, ayo bangun Nak, ambil wudhu’ terus sholat jamaah ke masjid Le! Kamu udah gede Le, masa masih dibangunin Mamah. Yo masa anak lanang Mamah kalah sama adik perempuannya, ndak malu tho? Bangun cepat, ntar subuhnya dipatuk ayam loh!”

Aku terdiam membisu, tak menjawab tutur halus mamah dengan sepatah katapun. Tanpa aku sadari, kalam mamah ternyata mampu menggatuk kepala syetan- syetan yang mengelilingiku sendari tadi. Tanpa menghela napas, langsung aku robek selimut yang memelukku tadi. Aku sandarkan sejenak tubuhku di dinding kasur sembari berkomat- kamit berucap “Alhamdulillahilladzi ahyaana ba’da ma amaatana wa ilayhinnusyuur”. Mataku pun aku arahkan pada asal datangnya suara tadi, ujung mataku tertuju pada mamah yang terbalut mukena putih masih menatapku di balik pintu kamar. Selang beberapa menit, mamah takluk oleh tatapanku. Batang hidung Mamah menghilang dari kamarku. Langsung saja aku angkat jasadku dan ku kendalikan menuju kamar kecil di samping kamar tidurku. Bukannya aku tahan akan suhu bawah, aku juga terasa dipenggal dan ditiup udara dingin sang dini, bahkan remote AC di kamar tidurku masih mengeluarkan angka 17 derajat. Suhu terendah dari AC kamarku. Satu kalimat dariku, “dingin bukan main”. Namun biasa, namanya juga syetan yang ingin mengganggu manusia untuk berpaling padanya. Jujur aku tak kuat menikmati ini semua, namun aku harus kuat, “DEMI CINTA”. Usai aku memandikan beberapa bagian tubuhku dengan basuhan wudhu’, sejenak ku langkahkan kaki ke luar kamar. Mataku terkejut memandang mamah dan adik perempuanku, Ayna sudah bercumbu dengan Sang Pemilik Kehidupan sendari tadi rupanya. Keduanya sedang merebah dalam Pangkuan-Nya dengan kepala tertunduk, tetes mata bercucuran, beserta lantunan kalimatullah yang mengharap basuhan maaf-Nya. Walau sekejap aku juga sempat bermuhasabah merasa malu pada Penciptaku. Ayna saja yang lebih muda dariku, dan bahkan ia adalah seorang wanita lebih mampu menenggelamkan tantangan malam dan syetan yang hina, sementara aku “nol”. Renungan otakku akhirnya ku buang seketika Ayna membalas tatapanku dengan tolehan kepala bulatnya. Sesaat lisan Ayna berbisik pada mamah dengan gemericik pelan, dan aku pun dapat mendengarnya. “Mam, Kak Al udah siap tuh”. Mendengar bisikan Ayna tadi, aku pun kembali menuju kamarku untuk membulatkan kopiah dan mejatuhkan sajadah di atas pundakku. “Mam, Na, Kak Al tunggu di depan ya!”.

* * *

Usai sudah ku tunaikan sholat subuh di masjid komplek perumahanku dengan berjamaah. Sang Fajar Shodiq mulai mengintip bumi, bayangan telah mulai menerang, hembusan udara mulai sedikit menghangat. Tanpa pikir panjang, langsung ku tanamkan niat dalam hati untuk sejenak mendirikan Sholat Isyroq. Mamahlah yang mengajariku untuk istiqomah melakukan sholat dua rokaat setelah fajar terbit ini. Kata mamah, para sufi menjadikan sholat- sholat sunnah sebagai hiasan hidupnya, karena sangat tidak mungkin jika manusia hanya bermodal sholat dan ibadah wajib saja tanpa amalan sunnah untuk menikmati sorga firdaus. Dan sholat thulu’issyams ini adalah salah satu yang ditempuh para sufi, Hataa idza syamsun badat karomayhina, shollal-isyroqi wa qur’anun talaa, begitulah penuturan Sayyid Abu Bakr Syathaa dalam kitab tasawuf polesannya, Kifayatul Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’. Mamah juga pernah berkata padaku tentang hadits Rosululloh, jika sholat jama’ah subuh dan tetap bermunajat dengan Allah hingga fajar terbit, maka pahalanya setara dengan haji dan umroh. Subhanalloh, entah apakah orang- orang tahu-menahu tentang hal ini, haji dan umroh bisa dilakukan dalam sehari, belum lagi pahala sholat khusyu’nya. Sekali dayung dua pulau dilalui. Banyak orang yang tak terwujud hajatnya untuk naik haji karena tak mampu ini itu, namun kenapa masjid atau musholla di setiap subuh hingga fajar terbit hanya beberapa butir manusia saja, entahlah. Jam gede masjid komplek perumahan yang katanya diekspor dari Jerman berdenting enam kali, aku teringat pada mamah dan Ayna di rumah, langsung saja ku tarik hamparan sajadahku, dan ku tuju rumahku di lorong H 188. Rumah- rumah di komplek perumahan masih menutup pintu, tak berani menyapa sang hari Sabtu, tapi langsung saja aku membuka pintu rumah nomor 188.

Mataku tersenyum bahagia, mamah dan Ayna rupanya sedang menungguku di ruang makan.

“Al, ini Mamah masak opor kesukaanmu, spesial!” goda Mamah.

“Fuiih Mam, Dahsyat! bener nih Mamah yang masak?” sindirku.

“Iya lah Al, Bi Sun suruh turun tangan sama mamah, masakan mamah ini spesial untuk anak Mamah yang baru datang menempuh ilmu.”

“Siip, khusus untuk sarjana ekonomi UGM.” Ketus Ayna. Tawa kecilku ku luapkan mendengar ocehan Ayna.

“Ada- ada saja kamu Na! Yowes kamu berangkat sekolah sana Kak Al mau makan dulu ya!” ujarku.

Lidahku bergetar mencicipi masakan mamah yang ku rindukan sejak di Jogja dulu, canda tawa Ayna juga, begitupun Bi Sun dan Bi Irah yang selalu melayani keluargaku dalam hal apapun. Tak lupa juga Pak Slamet yang selalu mengantarkan keluargaku kemana pun yang kami kehendaki. Sejenak hatiku mendesah, “Aah, ternyata keluargaku terlalu manja, pengen ini ada, pengen itu ada, ga seperti Rosululloh yang selalu dalam kemelaratan”. Usaiku menyantap habis opor buatan mamah, mamah melontarkan pertanyaan padaku.

“Gimana Al enak?”

“Siiip, ini yang Al rindukan di selama Jogja Mah” ucapku beriring senyum kecil.

“Di Jogja khan pasti ada yang jual Al”

“Yang jual sih banyak Mam, tapi tak setara dengan bikinan Mamah, sweeerrrr deh Mam!”

Sehabis ku bercanda ria bersama mamah, mamah melanjutkan episode kebersamaanku dengan cerita- cerita keindahan jiwa waliyatun Sayyidah Robi’ah Al- Adawiyah Al- Bashriah dengan panjang lebar, mamahku sangat mengidamkan sesosok anak hawa yang tenggelam bahagia dalam Mahabbah Ilahiah itu, bahkan sangat sering pendengaranku menangkap hembusan tutur kata ucapan mamah yang disertai senyum kecil khayalan, “Mamah pengen banget kayak Robiah yang bisa mencintai Allah sepenuhnya dan tak menghiraukan dunia sedikitpun Al, bahkan Robiah tak bersuami, dia tak mau membagi cintanya sedikitpun dengan selain Allah Al, Mamah pengen deh Al kayak Robiah”. Dalam sekejap, sunggingan bibirku memudar, menatap mata mamah meredup, meneteskan airmata, entah ada apa dengan mamah kenapa tiba- tiba terjatuh dalam kesedihan. Sungguh aku tak rela melihat tetes matanya mengalir. Aku ulurkan tanganku, dan kuraih pipi mamah, kuusap airmatanya, sambil kuhirup aroma ubun- ubunnya yang sewangi hajar aswad. Ku pandangi kuat seluruh sisi muka mamah, uban- uban di ujung jidatnya mengikatnya kuat, di sekitar bulatan matanya memerah, kulit- kulitnya mengeriput, cahaya cantiknya mulai meredup. Tetapi tetap saja memiliki bias cahaya yang dapat menaklukkan medan hatiku. Aku pun tetap mencintainya, karena inilah cinta sebenarnya, cinta yang abadi setelah cinta-Nya dan cinta Rosul-Nya. Perasaan sayang yang tak mempunyai alasan adalah cinta yang sebenarnya, tak perduli cantik, kaya, bertalenta atau apapunlah, seperti cintaku pada wanita termulia yang ku miliki, “Mam, aku mencintaimu” desahku dalam hati.

“Mam, kenapa nangis?” tanyaku pelan.

“Mamah sebenarnya kangen banget sama Babahmu, tapi Mamah pengen kayak Rabiah yang hanya bercengkrama dengan Allah, dan tak sesekali merindukan selain-Nya Al”, masih itu saja rupanya yang Mamah ucapkan padaku.

“Yang sabar Mam, Mamah khan bisa telpon Babah”

“Mamah masih cinta sama Babahmu, sama kamu dan Ayna juga Al, tapi Mamah pengen kayak Rabiah yang tak mencintai apapun kecuali Allah”

Mamah tetap saja mengulang- ulang kalimat itu, meski jawabannya tak sesuai dengan apa yang ku tanyakan sebelumnya, bahkan ucapan mamah tadi dapat disimpulkan bahwa mamah ingin meninggalkan Babah, aku dan Ayna untuk menyatukan cinta pada Allah, “Agak ngawur sih Mamah, mungkin karena udah tua ya, aku jadi makin kasihan sama Mamah” desahku dalam hati.

“Bukan hanya Mamah yang merindukan Babah, Al dan Ayna juga kangen Mam”. Tanpa terasa airmataku meleleh merindukan sesosok lelaki tegar yang meninggalkan kami ke Negeri Piramid Mesir untuk berkarir sebagai staf Duta Besar RI untuk Mesir di Kairo. Sesosok lelaki yang memberiku nama Alfan Zaar dan adikku Ayna Thalita itu sejak enam tahun yang lalu membantu Pak Dubes.

“Kami merindukannya, Ya Allah sampaikanlah perasaan kami padanya” mohonku di kedalaman hati pada Sang Pemilik Alam.

Kerinduanku pada Mamah saja belum terobati, baru kemarin aku mendarat di sini setelah wisuda sarjanaku di Jogja, kini Babah kembali menghampiriku membawa sejuta harapan dan kerinduan. Namun itu hanyalah angan belaka, Babah penuh dengan kesibukan di Kairo, hingga tak hadir dalam acara pengokohanku sebagai sarjana. Tapi tak apalah, aku masih bersama paruh jiwaku, Mamah dan Ayna.

* * *

Hari libur untuk adikku Ayna yang masih mencicipi bangku ketiga SMA telah tiba. “Minggu” begitulah kira- kira tutur tanggal berwarna merah itu. Aku, Ayna dan Mamah sedang hanyut dalam kebersamaan di ruang makan. Sehabis menyantap sarapan, aku, mamah dan Ayna berbalas kata- kata. Mamah yang memulai dialog terlebih dahulu, akupun awalnya bisa menebak apa yang akan dikatakan mamah, tapi entahlah, akan ku dengarkan sejenak gerak bibirnya. Aku terkejut bukan main!

“Tadi malam Mamah mimpi Babahmu Al, Na”

“Ah Mam, itu mungkin cuma akibat Mamah berlebihan mikirin Babah”

“Insting Mamah ke Babah kuat banget Al, Babahmu bilang mau pulang ke Indonesia”. Aku dan Ayna tersenyum bahagia mendengar tutur kata Mamah, “Semoga terwujud, Amin!”

Tiba- tiba pembicaraan kami bertiga terputus oleh dering nada telepon dari ruang keluarga, biasanya Bi Irah yang mengangkatnya, tapi Bi Irah hari minggu libur, Ayna langsung berdiri menuju ruang keluarga, ia raih gagang telepon dan bercakap pelan. Selang beberapa menit, Ayna tampak di pintu ruang makan dengan sisa tetes lava mata, Ayna terdiam membisu, air matanya semakin menderas, irama isak tangisnya menggema. Aku dan Mamah teramat penasaran, ingin mendengar ucapan hati Ayna. Ku beranikan diri lisanku bertanya pada Ayna.

“Ada apa Na, kok nangis?”

“Mimpi mamah benar Mam, Kak. Babah akan dipulangkan besok pagi ke Indonesia,” jawabnya gemetar.

“Haah? Dipulangkan? Ada apa dengan Babah, Na?”

“Ya Kak, babah wafat di Rumah Sakit di Kairo selepas subuh tadi, besok sore akan dimakamkan, Kedubes yang mau menanggung semuanya” isak tangisnya semakin menggema gaung ketika mengucapnya.

Suasana bahagia hilang memudar tak bersisa, suasana sunyi, dengan diwarnai isak tangis berirama yang mengganti keadaan. Aku sempatkan lidah kakuku berucap menguatkan keteguhan jiwa Mamah.

“Sabar Mam” ucapku simpel bercampur melodi isak tangis.

“Mamah pengen kayak Rabiah yang tak membagi cintanya pada selain Allah, tapi Mamah masih mencintai Babah dan kalian berdua. Mamah jauh dari Rabiah Al, Na. Hati Rabiah bukan hati biasa”

“Mam, jangan buat kami semakin pedih menangis Mam, Al mohon”

Tiba- tiba Ayna berniat untuk menghibur Mamah dengan membaca sajak- sajak ilahiah Rabiah penuh dengan penghayatan. Namun Mamah membalasnya dengan kata memelaskan yang sama seperti yang ia tuturkan barusan, “Cukup Na, Mamah jauh dari Rabiah. Hati Rabiah bukan hati biasa”.

Ku jadikan Engkau teman bercakap dalam Hatiku,

Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.

Jisimku biar bercengkrama dengan Tuhanku,

Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.

Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu

Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpa-Mu


0 komentar:

Posting Komentar

 

WR3VO Magazine Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Emocutez