oleh Princess Benecka Sevenfoldism
Hai, Sahabat. Sudah lama kita tidak bertemu. Aku tak sabar untuk menceritakan sesuatu kepadamu tentang hidupku, sekaligus mengobati rindu. Sayang sekali, saat ini aku tidak tahu tentang keberadaanmu. Dan jika ternyata kau membaca tulisan ini (aku sangat mengharapkannya), ketahuilah, aku sangat merindukanmu. Kau masih tetap sahabat terbaikku dan aku harap kau juga masih mengaggap aku sebagai sahabat terbaikmu. Aku merasa bersalah karena perpisahan kita bermula dari kepindahanku ke luar kota. Jahat sekali aku. Aku bahkan tak menyempatkan diriku mengunjungi kota lamaku, dan mengunjungimu.
Sahabat, mari kita mengingat-ingat sejenak pertemuan pertama kita dulu. Masih ingatkah kau padaku? Masih ingatkah kau pada warnaku yang abu-abu? Warna yang tak jelas hitam atau putih. Jika dibandingkan denganmu, aku merasa seperti tak punya warna. Tak punya kehidupan. Dan kau akan mulai memarahiku karena aku merasa begitu, kemudian kau akan mengoceh tentang betapa berharganya diriku sebenarnya. Betapa aku melupakan banyak hal yang seharusnya aku syukuri, bukan aku sesali. kau benar lagi, kau adalah salah satu hal yang lupa kusyukuri. Kau juga bilang bahwa abu-abu itu adalah warna yang istimewa. Abu-abu terdiri dari hitam dan putih. Warna yang walaupun berlawanan tetap bisa menyatu. Kau sangat menghibur hatiku. Kau menghidupkan kembali api semangat dan kepercayaan diriku.
Dan jangan kau bertanya-tanya dalam benakmu, tentu saja aku masih mengingat dengan jelas semua tentangmu. Aku juga masih ingat warnamu. Warnamu merah menyala. Ketahuilah, warnamu itu sangat indah. Dan kau sangat lincah! Setiap senja, kau kepakkan sayapmu bagaikan malaikat melesat di angkasa. Kau hibur camar dengan melukis mega. Aku terpana, kau adalah keindahan sempurna. Aku membandingkanmu dengan diriku yang abu-abu. Merasa tak berguna, tak bisa apa-apa, aku tertunduk lesu. Saat itu kau kembali datang padaku. Kau membuatku menyadari kelebihanku yang tertimbun di bawah rasa minderku. Kau menggalinya, menegaskan padaku bahwa aku patut bangga dengan apa yang aku punya. Aku perlu mengembangkannya. Aku harus yakin bahwa aku bisa. Kau benar-benar sahabatku yang luar biasa!
Sahabat, pernahkah kau mencoba untuk menerjemahkan kebersamaanmu denganku melalui bahasa warna? Aku tidak tahu seperti apa menurutmu. Tapi simaklah, bagiku kebersamaanku dan kamu saat itu seperti ini, “Kau selalu bisa menciptakan langit bermega yang merah menyala. Lalu kau minta hitam dari abu-abuku untuk melukis mega menjadi malam. Aku sempat bertanya padamu, mengapa keindahan itu kau hitamkan? Kau bilang, agar bintang-bintang punya kesempatan untuk melenggang. Dan aku minta merahmu untuk menghias putihku yang tersisa. Jadilah lukisan indah persahabatan kita. Inilah saat yang paling indah sebelum kita berpisah. Kau menghapus kata “Kau dan Aku” dari buku harian kita. Kau bilang “Kisah ini bukan milikku, bukan juga milikmu, ini milik kita…”
Sahabat, perpisahan ini adalah hal terburuk yang pernah kualami selama hidupku. Haruku membiru, sahabat, aku ingin bertemu denganmu. Gelisahku merah membara, rindu ini butuh muara. Kuharap kau tidak merasakan derita yang sama.
Kau membuatku mampu merangkai percikan aurora menjadi sebuah lentera yang mampu membimbing langkahku dalam gelap, sehingga aku mampu menemukan celah kearah cahaya. Tapi kini raga kita terpisahkan oleh bingkai-bingkai kaca takdir yang penuh misteri. Tak mampu kupecahkan, maka tak bisa aku menemukan jawaban. Hanya bisa aku membisikkan kata maaf pada angin yang mungkin kelak akan singgah untuk membelai telingamu dan menyampaikan maafku. Dari balik kaca ini aku melukiskan warnamu. Mungkin dengan itu bisa sedikit menghilangkan segala gundah yang menyumbat aliran kebahagiaan dalam jiwaku. Aku yakin suatu saat nanti Tuhan akan mempertemukan kau dan aku. Dan hingga saat itu tiba, kuharap kau masih menyisakan tempat dihatimu untukku…
Untuk Sahabatku tercinta. Virginia Sheila Batrich Seu dan Wingku Wideanata.
0 komentar:
Posting Komentar