Logo Kampung Tercinta

Rabu, 25 Mei 2011

Gadis Penjaga Mimpi

Diposting oleh Dhanistyo di 21.18

Oleh Mardiana Kappara

Dulu teman khayalanku bernama “Tendri.” Dia perempuan pendek yang serba bulat. Rambutnya hitam mengkilat model bob berponi, apabila dia berlari rambutnya itu seperti per yang memantul-mantul sangat teratur. Rambutnya akan berbentuk bulan sabit lagi tanpa sedikitpun kusut masai ketika dia diam kembali. Bibirnya mungil dan penuh, sekilas tampak seperti huruf “o” kecil yang padat. Matanya kecil bulat nan tajam. Badannya pun seperti tubuh manusia salju, yang terbagi atas tiga bulatan, yaitu kepala, badan, dan kaki.
Secara fisik, Tendri memang tidak punya kelebihan. Menurutku, masih lebih menarik aku, walaupun tubuhku juga nyaris bulat seperti tubuhnya. Tetapi Tendri punya keajaiban lain yang membuatku terpukau padanya. Tendri adalah seniman sejati. Dia artis serba bisa. Dia mampu menari tarian daerah hingga internasional, menyanyi dangdut hingga seriosa, menguasai semua jenis alat musik, sangat menghipnotis ketika membaca puisi dan bermain teater. Tetapi lebih hebatnya dia bisa menulis. Dia lah guru kesenian pertamaku. Tendri telah memberikanku warna seni. Tendri mengajariku menulis cerita ketika tahu aku telah paham menggunakan pensil dan merangkai kata-kata. Tendri membimbingku menari dan membaca puisi. Tidak lupa, dia juga melatihku bernyanyi. Dia telah menjadikanku seniman walaupun cuma show di kamar mandi.
Suatu kejadian di sekolah yang paling kuingat adalah waktu aku duduk di bangku kelas 5 SD. Ketika itu, sebuah tugas mengarang diberikan Ibu Sri Wahyuni, Guru Bahasa Indonesia. Temanya adalah “Cita-citaku.” Setiap anak diberikan sebuah kertas double folio bergaris dan waktu 2 jam pelajaran. Sebagai jam pelajaran terakhir di hari itu, Ibu Sri meninggalkan kami dan memberikan kami keleluasaan untuk mengarang. Setelah selesai hasil karangan dapat langsung dikumpul di meja guru. Dan siswa yang telah mengumpulkan tugas dapat langsung pulang ke rumah.
Kumulai paragraf pertamaku di kertas yang dibagikan ibu guru. Dan betapa terkejutnya aku ketika tiba-tiba Marwan menarik double folio-ku, untung saja kertas itu tidak sobek.
“Mau jadi polisi? Mana ada polisi pendek dan bulat. Semua polisi langsing dan tinggi! Ibuku polwan, dia cantik. Tinggi pula!” Ejeknya membaca paragraf karanganku.
Aku berusaha meraih kembali kertasku dengan penuh ketidakpercayaan diri.
“Aku tidak ingin jadi polisi, aku ingin jadi guru saja!”
Kali ini Tole yang tertawa terbahak-bahak menudingku dengan telunjuk bengkoknya. “Mana ada guru yang suka bengong dan tergagap-gagap kalo bicara. Lagi pula kau itu bengak. Rangking 1 dari belakang! Bisa apa anak muridmu besok kalau gurunya saja bengaknya minta ampun.”
Aku akhirnya menitikkan airmata di tengah olok-olok keduanya. Lalu apa yang sebaiknya kutulis dalam karangan bahasa Indonesia hari itu tentang cita-citaku? Aku kehabisan ide untuk bercerita. Sementara teman-teman sudah menyiapkan 2 halaman double folio bolak balik cerita cita-cita mereka. Satu per satu mereka telah menumpukkan tugas di atas meja guru lalu meninggalkan kelas. Hanya aku yang masih memegang kertas double folio polos. Aku benar-benar terisak, sementara Marwan dan Tole masih terus menertawakan diriku sambil menenteng tas mereka.
Kemudian Tendri datang mengelus punggungku, “Tulis saja, kalau cita-citamu adalah ingin jadi penulis. Bukankah itu yang paling kau suka, menulis?”
Aku mengangguk, “Tapi, mamak bilang kenapa harus jadi penulis. Bukankah penulis bukan cita-cita? Aku jadi bingung tentang cita-citaku. Sebenarnya aku memiliki banyak sekali cita-cita dan mimpi.”
Mata bulat kecilnya tajam memandangku dan bibirnya tersenyum,
“Orang hebat lahir dari mimpinya dan abadi karena impian tersebut. Jadi, jangan pernah takut bermimpi, Dana. Tulislah impianmu, mudah-mudahan kelak akan menjadi kenyataan.”
Seketika itu juga rasa sedih dan minderku hilang disulap Tendri. Semenjak hari itu, aku tidak pernah berhenti bermimpi. Aku yakin, suatu saat impianku satu per satu bakal menjadi kenyataan. Walaupun sekarang usiaku telah mencapai 30 tahun, telah menikah dan memiliki seorang anak, jelas bukan gadis belia lagi. Dan walaupun Tendri tidak pernah lagi bermain denganku, ucapannya untuk terus menjaga mimpi tetap aku ingat. Aku memiliki banyak mimpi. Walaupun semuanya membutuhkan perjuangan untuk mewujudkannya. Aku tidak ingin menyerah. Aku tidak ingin berhenti bermimpi! Karena mimpilah yang telah memberikan warna hijau, kuning, merah, biru, jingga, unggu, lembayung, dan emas pada kehidupanku.
(Selesai)
Catatan Kecil:
Bengak = Bodoh, Nakal (Bahasa Jambi)

0 komentar:

Posting Komentar

 

WR3VO Magazine Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Emocutez