Oleh Mardiansyah Ntx
“Apa istimewanya menjadi sahabatku?” tanyamu saat kita mulai mengakrabi pertemanan ini.
“Karena kau istimewa.” Jawabku meyakinkanmu.
“Istimewa? Apa istimewanya aku?”
Aku menemukanmu dalam irama tanpa nada. Kau selalu memainkan lagu kehidupan meski tanpa ketukan. Aku ingin kita terus beriringan mematik warna peradaban. Saling merangkul dalam bingkai persahabatan yang kita maknai teramat sederhana. Agarku bisa sekuat ketegaranmu memilin masa depan.
****
Mungkin hatimu terbuat dari baja. Atau mungkin kau sendiri yang menyepuhnya hingga terbungkus sempurna. Kau selalu tampak tenang meski dihujani badai masalah. Hingga aku mengira hatimu memang kuat. Meski karat mengikisnya hebat.
Kalaulah aku yang melakoni perananmu, mungkin saja aku tidak sanggup. Aku yakin akan segera tersungkur saat memerankan satu episode saja dari seluruh episode kehidupanmu yang harus kau mainkan. Tapi kau terlihat mahir menjalaninya. Adeganmu teramat sempurna, tiada cela di mataku. Hingga aku berani menyimpulkan kau memang sangat tangguh.
“Terimakasih untuk persahabatan ini.” Ucapmu sebelum kita berdua melangkah menjemput mimpi kita masing-masing. Impian yang selalu kau kisahkan padaku.
“Aku belajar arti hidup darimu. Kelak, saat kita bertemu disini, harapanku mimpi itu telah kita miliki dan tergenggam erat.” Aku berujar sekedar untuk menguatkan hatimu.
****
Aku berusaha dan belajar giat di tempatku. Tempatku meraih mimpi. Di sini ketemukan impian sejati. Impian yang tidak hanya berorientasi duniawi. Impian yang telah merubah pribadiku. Dulu, tidak pernah terpikirkan tentang impian seperti ini. Damai yang menentramkan hati. Merasa selalu diawasi oleh Penjaga Hati. Aku bahagia di sini. Berharap di sana kau juga menemukan impian sejati yang kini kian kuakrabi.
Kau mengabariku bahwa di sana, tempatmu meraih mimpi terasa indah. Kau bisa terbang bebas seperti kupu-kupu tanpa perlu memperdulikan lagi keluh yang selalu mempermainkanmu. Aku bahagia mendengarnya. Rupanya kau juga menemukannya. Tapi, semakin sering kau mengabariku. Semakin jelas tertangkap guratatan itu. Irama mimpimu yang belum mampu ku terjemahkan. Aku tidak mengerti memaknainya.
****
Kini, mimpiku telah tergenggam sempurna. Bagaimanakah dengan mimpimu? Aku teramat ingin menyaksikan wujud mimpimu. Berharap mimpimu seirama dengan mimpiku. Hingga bisa kita memainkan peran kehidupan beriringan. Dalam liuk tarian menyejukkan. Bukan lagi dalam bingkai persahabatan, namun persaudaraan yang hakiki.
Aku terus berusaha memahami kondisimu, hingga penat merayapi. Ada apa denganmu? Kenapa kau membodohiku? Ku kira persahabatan kita bisa merubah dunia. Kau belum dewasa, masih sangat tolol untuk memahami permainan zaman. Kepedihan hidup yang sering kau jalani tidak mengajarkanmu apa-apa. Ternyata hatimu bukanlah terbuat dari sepuhan baja. Tapi hanyalah bentuk kebencian pada takdir yang kian tercalar. Mengeras, membeku hingga mengkristal. Gemuruh hatiku tak mampu ku tahan. Meski tanpa air mata tapi hatiku terasa basah. Aku kecewa!
Aku pun datang menemuimu dengan kepedihan terkatup. Kau meneteskan air mata saat mendapatiku mendekati sosok kurusmu. Sebentuk kata tidak hendak ku alamatkan padamu. Karena ku tahu, sebongkah sesal telah mampu kau hadirkan di hadapan Penciptamu dan juga tergambar di hadapanku . Aku hanya menatapmu lekat. Berharap dapat membaca alur hatimu. Agar bisa mencari jawab dalam iba.
“Maafkan aku! Tidak pantas lagi aku menjadi sahabatmu.” Nada suaramu menggores kekesalanku. Setelah sejauh ini kau bertahan, akhirnya kau memilih jalan tak termaafkan. Butakah matamu? Tidak bisakah kau saksikan jalan keindahan yang terbentang? Ah, sesalku luruh dalam tanya yang belum terjabar.
Sepenggal kisah pernah kita ukir bersama dalam serpihan persahabatan penuh warna. Tujuan asa kita ternyata tidaklah sama. Salahkah aku yang melangkah indah tanpa membawamu serta? Hingga kau berkubang debu, namun aku tidak tahu. Ternyata, ada celah dalam hatimu yang tak mampu kuselami. Kini, kau telah menempati dimensi yang tak terdefinisi. Bertemu dengan Pemilik Hati.**
0 komentar:
Posting Komentar